menyandang nama lain yang asing sama sekali bagiku? Kata ibuku, nama itu cocok untuk kusandang.
Namaku Ny. Susilo, usiaku sekarang 21 tahun. Aku istri seorang tuan tanah di desaku. sudah 5 tahun kami menikah, namun aku belum melahirkan seorang anakpun baginya. Aku melihat ibu mertuaku sering menatap tajam ke arahku, mulutnya nyinyir, mengeluarkan kotoran kemana ia suka. Mengeluarkan bau busuk dimanapun ia berada; baik di ruang tamu, di dapur, di kamar, di WC, bahkan di rumah tetangga.
Bau busuk, hanya itulah yang keluar dari mulutnya dan aku tetap diam, begitu juga suamiku. Suamiku bahkan mulai jarang pulang, bukan aku tidak tahu kemana ia pergi. Ke kompleks pelacuran, itulah tempat yang paling ia suka.
Kompleks pelacuran? Sejak kapan suamiku punya hobi pergi ke kompleks pelacuran? Setahun yang lalu? dua tahun lalu? Tiga tahun lalu? Empat tahun lalu? Lima tahun lalu? Atau sebelum itu?
Anehnya, baik ibu mertuaku atau orang tuaku malah menyalahkan aku. Bagaimana dengan Ayah mertuaku? lupakanlah, ia sudah mati jauh sebelum aku menikah dengan anaknya. Intinya, akulah yang tidak becus meladeni suami, sehingga suamiku lari ke pelukan pelacur itu. Apalagi, aku mandul, itulah yang dibilang oleh ibu mertuaku, bau busuk yang ia sebarkan hampir di setiap sudut desa ini.
Percayalah, aku tidak mandul, tapi aku sungguh tidak tahu mengapa aku tak kunjung hamil juga. Anehnya, suamiku sama sekali tidak memusingkan hal ini, bukankah keturunan adalah hal yang paling penting dalam hidup manusia?
Malam itu suamiku baru saja pulang, entah dari mana, aku pura-pura tidur ketika ia membuka pintu kamar.
“Kau sudah tidur?” Suamiku menyapaku! Hatiku bahagia sekali, sampai tidak bisa mengucapkan sepatah katapun.
Aku membalikkan tubuhku, kutatap matanya dalam-dalam. “Belum, Mas.” jawabku. “Mas dari mana?” Sungguh pertanyaan yang paling konyol yang pernah kuucapkan. Bukankah aku tahu ia baru kembali dari pelukan pelacur itu?
“Kau tak perlu tahu, yang penting kau harus berpikir bagaimana bisa melahirkan seorang anak untukku!” jawabnya.
Jantungku berdesir, sakit sekali seperti ditusuk dengan ribuan paku, bukan, lebih dari ribuan paku. Aku membenamkan kepalaku dalam bantal, menangis tanpa suara, suara yang tak pernah kumiliki walau sekedar untuk mengeluarkan isi otakku. Aku tak pernah mempunyai suara.
Selanjutnya, hari-hariku seperti neraka saja, seluruh penduduk desa bergunjing tentangku, bahwa aku mandul, perempuan yang tidak sempurna. Aku juga melihat pelacur itu selalu ceria, senyumnya membuat hatiku semakin terluka, seperti disayat sembilu.
Pelacur itulah, yang tidur dengan suamiku setiap malam, setiap malam sebelum suamiku menjamah tubuhku. Ia membayar pelacur itu tiap malamnya, sedangkan aku harus melayaninya seumur hidupku tanpa bayaran, kecuali makian yang kudapat dari ibunya dan suamiku sendiri. Inikah hidup baru yang dulu aku bayangkan? Yang kuimpikan dan kuidamkan? TIDAK! dan tentu saja aku takkan tinggal diam, karena aku adalah Surti.
“Dasar pelacur!” teriakku pada perempuan yang sekarang berdiri di depanku. Hari itu aku tak bisa menahan diri untuk menemui perempuan itu di kompleks pelacuran.
“Pelacur? Yah tentu saja aku pelacur dan asal kau tahu Ny. Susilo, aku bangga dengan profesiku.”
Mukaku memerah karena marah. Kuremas tanganku, ingin rasanya kutempeleng wajahnya. “Kau telah merebut suamiku, kau memang perempuan murahan!” teriakku.
“Merebut? Suamimu sendiri yang datang padaku dan melayaninya adalah tugasku. Kau salah alamat Ny. Susilo, kau harusnya mendamparat suamimu karena ia tidak setia, bukan kepadaku!”
“Plak!” aku menampar wajah perempuan itu, amarah tergambar jelas di wajahku. Namun aku sungguh tak menyangka ia membalas tamparanku, bahkan lebih keras dari tamparanku.
“Aku memang pelacur, tapi takkan kubiarkan satu orangpun melecehkan harga diriku.” katanya.
Aku tertawa keras, berani sekali pelacur ini ngomong soal harga diri.
“Kau pikir kau lebih berharga dari aku, Nyonya? Katakan padaku apakah suamimu menghargaimu?” ia bertanya.
Aku tediam, tiba-tiba saja aku tak punya lagi kata-kata. Aku sudah kalah dan aku pergi dari pelacur itu dengan kekalahan. Ya, kekalahan telak seorang istri tuan tanah yang terhormat. Air mataku mengalir deras, sesaat aku berpikir apakah gunanya aku hidup. Toh aku bukan istri sempurna.
Malam itu aku menunggu suamiku pulang, kali ini aku tidak berpura-pura tidur, tak kupejamkan mataku walaupun sejenak. Akhirnya suamiku pulang, kuhirup bau badannya, bau parfum pelacur itu.
“Kau baru dari pelacur itu?” tanyaku dan aku sangat terkejut dengan keberanianku menanyakan hal itu padanya.
“Iya.”
Hatiku luluh lantak mendengar jawaban yang jujur itu, aku berharap ia berbohong, sungguh aku ingin kebohongan yang manis walau beracun.
“Kau mengkhianati aku, mas.” kataku lirih.
“Aku mencintai Widuri.”
Sungguh, aku berharap apa yang diucapkannya barusan adalah kebohongan, tapi aku melihat kejujuran di mata itu.
“Aku menikahimu untuk melahirkan anak-anakku, tapi kau tak kunjung hamil juga.” kata suamiku.
“Aku baru saja berpikir apa kau pantas menjadi ayah dari anakku kelak!” sahutku berani. Akhirnya aku bersuara, akhirnya suaraku berguna juga.
Mata itu menatapku terkejut. “Lancang!” teriak suamiku sambil menempelengku, darah segar keluar dari sudut bibirku.
Aku tidak menangis, tidak, aku bersumpah takkan ada lagi setetes air matapun untuknya. Suamiku beranjak pergi dari kamarku, malam itu ia tidak kembali.
***
Lelaki itu sedang duduk di ruang tamu dan menatapku penuh senyum, menyapaku penuh kerinduan. Andi adalah teman sepermainanku sejak kecil, terakhir aku bertemu dengannya adalah di hari pernikahanku.
“Gimana kabarmu, Ti?” tanyanya.
“Baik, mas sendiri?” kataku balas bertanya.
“Aku jadi buruh di Jakarta. Hidup di Jakarta ternyata sulit, Ti.” katanya.
“Namanya juga kota besar, Mas.”
“Aku kembali ke sini justru karena aku dipecat, situasi pabrik kacau, sebagian besar buruh dipecat dengan alasan kesulitan keuangan. Kami para buruh menggalang aksi mogok sampai berhari-hari karena nasib kami nggak jelas. Eh, pemilik perusahaan malah minggat entah kemana.”
Aku tertegun sesaat, jadi buruh ternyata tak lebih baik daripada jadi petani.
“Kami para buruh ditelantarkan begitu saja, pemerintah juga tidak melakukan tindakan apapun terhadap nasib kami.”
“Sudahlah, Mas, terima aja. Mungkin emang nasibmu lagi apes. Nggak usah macem-macem, Mas, entar nasib kamu kayak Marsinah gimana?” kataku ngeri dengan kisah Marsinah yang mati karena dia terlalu vokal.
“Pokoknya aku nggak mau tahu, Ti. Kita emang miskin, tapi jangan diem aja kalo diperlakukan sewenang-wenang.”
Aku diam aja, Andi emang sulit diajak ngomong kalo udah pakai kata ’pokoknya’, sulit diganggu gugat. Aku tak mau ambil pusing dengan masalahnya, yang jelas aku sudah memberi nasihat padanya.
Andi berniat tinggal di desa selama beberapa bulan, kami memang cukup dekat, bahkan ia pernah mau melamarku, namun ia tidak punya keberanian yang cukup untuk itu. Apalah artinya seorang pemuda miskin bila dibandingkan dengan Mas Joko yang seorang tuan tanah.
***
Aku tercenung sesaat ketika kutemukan selembar surat hasil pemeriksaan dari Dokter. Kupikir suamiku sakit, tapi ternyata aku salah, suamiku sama sekali tidak sakit. Surat itu menyatakan bahwa suamiku mandul!
Hatiku bahagia sekaligus marah, suamiku yang mandul, bukan aku! Aku ingin berteriak pada semua orang bahwa aku tidak mandul, bahwa suamikulah yang mandul. Aku ingin mengatakan pada ibu mertuaku yang nyinyir itu bahwa aku tidak mandul, bahwa anaknyalah yang mandul. Aku akan membuktikan pada semua orang bahwa aku tidak mandul. Aku tertawa, namun sesungguhnya aku menangis, yah aku menangis.
Suamiku menatapku heran, ia terpana dengan surat pemeriksaanku dari dokter yang menyatakan bahwa aku telah hamil dua bulan, wajahnya pucat pasi namun aku merasakan kemenangan dalam hatiku.
“Aku telah membuktikan bahwa aku tidak mandul,” kataku. “dan kau tak sanggup membuktikan bahwa kau cukup subur untuk membuatku hamil.” Aku melihat dengan jelas wajah suamiku memerah, entah karena malu atau marah. Mungkin keduanya.
“Dengan siapa kau mengandung, anak siapa bayi yang kau kandung?” tanya suamiku dengan suara gemetar.
“Apakah itu penting? Bukankah keluargamu menginginkan keturunan? Dengarkan aku, Joko Susilo, kau akan merawat, mengasuh darah daging orang lain dan anak ini akan menjadi satu-satunya pewaris dari kekayaanmu.”
Inilah hari kemenanganku. Aku tak peduli lagi dengan perselingkuhan yang dilakukannya dengan Widuri, pelacur itu. Aku tak peduli. Suamiku harus menutupi kenyataan dari semua orang, termasuk ibunya bahwa dia mandul dan ia terpaksa menerima darah daging orang lain sebagai pewarisnya.
Inilah pernikahanku. Sebuah pernikahan yang pernah aku idamkan sebagai pernikahan yang penuh kebahagiaan namun ternyata penuh kemunafikan. Aku telah mengandung dan semua gunjingan pun berakhir.
Ibu mertuaku begitu bahagia, tanpa ia tahu bahwa bayi yang kukandung bukanlah darah dagingnya. Semua keluarga begitu bahagia kecuali suamiku.
Namaku Surti, sebagai seorang perempuan aku harus menjaga kesucianku, sebagai seorang istri aku harus mengabdi, menjaga kesetiaanku pada suamiku dan sebagai seorang ibu aku harus mengasuh anakku siang dan malam. Yah, itulah aku dan untuk semua itu hanya ada satu alasan, karena aku adalah seorang perempuan.
Namaku Surti, dan saat ini aku berada di sebuah gubuk tengah sawah. Di samping kami, begitu banyak petani yang sedang bekerja, namun tidak ada satupun yang mengetahui apa yang yang sedang aku dan Andi lakukan.
Kami adalah sepasang kekasih sekarang. Bayi yang kukandung adalah anak Andi. Dengan lembut teman masa kecilku itu mendekap erat tubuhku. Wajah kami saling berhadapan, amat dekat.
Segera Andi mencium dan melumat bibirku dengan gemas sambil kedua tangannya mulai beraksi mengelusi punggung dan pinggangku secara bergantian. Beberapa saat kemudian tangannya beralih turun ke pantatku. Andi mengelus dan merabanya, merasakan betapa kenyal dan padatnya bongkahan pantatku. Dengan gemas ia meremas-remasnya sambil sesekali mencengkeram dan mendorongku ke arah selangkangannya.
Aku tidak kaget dengan kelakuannya itu. Andi memang sangat menginginkan tubuhku. Sejak pertama kali bertemu, sudah tak terhitung lagi berapa kali kami melakukannya. Pertama di rumah Andi, saat sore-sore aku mengiriminya kue kering. Tak kusangka Andi akan menyergap dan meniduriku. Namun bukannya marah dan sakit hati, aku malah menikmatinya. Selanjutnya, sudah bisa ditebak, kami jadi semakin sering melakukannya. Hingga akhirnya aku hamil 2 bulan.
Dan sekarang, Andi mengajakku ke sawah yang ia jaga. Dan disini, kami kembali melakukannya. Kurasakan benda keras miliknya mulai menekan selangkanganku. Meski masih tertutup celana, bisa kurasakan kalau penis itu sudah begitu kaku dan keras.
Sambil terus melumat bibirku, tangan kanan Andi meraih dan meremas payudara kiriku sedangkan tangan kirinya masih asyik meremas buah pantatku. “Ohh… mmh…” kepalaku langsung mendongak sambil melenguh panjang menikmati perlakuannya.
Perlahan tangan Andi mulai membuka kancing baju panjangku satu persatu. Segera terpampang dihadapannya sepasang buah dadaku yang montok dengan bh yang nampak kekecilan untuk menampung bulatannya yang besar. Memang, sejak hamil payudaraku rasanya semakin besar saja.
Andi lalu melanjutkan dengan melucuti celana dalamku. Untuk rok panjangku cukup ia singkap hingga ke pinggang, tidak perlu dilepas. Begitu juga dengan jilbabku. Andi sengaja membiarkannya karena hal tersebut merupakan sesuatu yang amat menggairahkan baginya. Ia paling suka menyetubuhiku dalam keadaan berjilbab!
Melihat pemandangan yang indah ini, segera Andi melanjutkan aksinya dengan menghisap dan menjilati sepasang puting susu milikku yang sudah menegang dengan rakus. Terkadang tangannya ikut bermain dengan menjepit dan memilin-milin putingku yang berwarna coklat muda kemerahan.
“Ouhh… ahhh… ahhh…” desah bibir mungilku yang setengah terkatup sambil meremas kepala dan pundaknya. Nafasku naik turun menahan nikmat. Semakin lama desahanku menjadi semakin kencang, membuat Andi semakin bergairah saja.
Sambil membalikkan tubuhku, ia kemudian melepas celananya. Andi lalu memeluk tubuhku dari belakang dan meraih wajahku untuk melumat kembali bibir mungilku, sementara ia juga menggesek-gesekkan penisnya yang sudah menegang ke arah pantatku. Tangannya juga tak tinggal diam, Andi kembali memilin puting dan meremas-remas kedua buah dadaku secara bergantian. Ia juga mulai mengorek-ngorek liang kemaluanku dengan tangannya yang lain.
“Emmhh… mmhh…” desahku tertahan oleh ciumannya.
Beberapa saat kemudian Andi menyuruhku untuk membungkuk. Ia tampak menatap kagum keindahan pantatku yang bulat dan putih mulus. Sejenak ia mengelus dan meremas-remas bokong indahku sambil sesekali menciuminya dengan gemas.
Aku hanya bisa merintih sambil menundukkan kepala. Tubuhku sedikit bergetar mendapat perlakuan seperti itu. Setelah itu Andi merentangkan sedikit kedua pahaku hingga ia bisa melihat lubang vaginaku yang ditumbuhi bulu-bulu halus rimbun. Baunya yang khas segera menyebar di seluruh gubuk. Andi menyibaknya dan dengan menggunakan jari tengah, ia mulai menusuk-nusuknya.
“Emmmhh…” tentu saja aku langsung menggelinjang sambil pahaku bergerak seolah hendak menjepit tangan kanannya yang sedang memainkan liang surgaku.
Andi terus mengorek-ngorek sampai jarinya jadi basah oleh cairan kewanitaanku. Nafas dan desah kecilku yang memburu membuat gairahnya meningkat. Andi merasa inilah saat yang tepat untuk mulai beraksi karena penisnya sudah menuntut untuk dimasukkan.
Ia menarik jarinya, lalu merebahkan tubuhku ke balai-balai bambu. Mataku menatap sayu ke arahnya. ”Ihhh..!!” pekikku pura-pura malu sambil menutupi wajah saat melihat kemaluannya yang besar mengacung indah ke depan. Padahal sudah sering aku menikmatinya.
Andi tersenyum dan perlahan mendekatiku sembari kembali mencium bibirku. Kedua tangannya tidak ketinggalan memainkan payudara dan liang vaginaku. Kudengar nafasnya mulai memburu pertanda ia semakin terangsang. Tak lama kemudian Andi mulai merentangkan kedua pahaku lebar-lebar. Lalu sambil bertumpu dengan lengan kirinya, ia membimbing penisnya untuk memasuki liang kemaluanku.
“Ouhh… sshhh…” desisku menahan rasa nikmat saat penis Andi perlahan tergelam membelah lorong vaginaku. Senti demi senti kemaluannya menembus lubang sempit di pangkal pahaku.
Akhirnya Andi berhasil membenamkan seluruh batang kejantanannya dan mulai memompanya maju mundur secara perlahan. Sungguh luar biasa rasanya. Nikmat sekali. Aku sampai menggigit bibir bawah agar teriakanku teredam. Aku tidak ingin perselingkuhan ini dipergoki oleh orang lain.
“Shhh… hehh… hhhh…” desah bibir mungilku sembari kedua tanganku mencengkeram erat lengan Andi yang sedang bertumpu disamping tubuhku.
Melihat wajah cantikku yang mendesah membuat Andi semakin bergairah. Segera ia melumat bibirku sambil memainkan lidahnya di dalam mulutku. Aku balas dengan memainkan lidah di dalam mulutnya.
“Mmmhh… cupp… cupp…” bunyi ciuman kami berdua yang diselingi permainan lidah.
Semakin lama semakin cepat genjotan Andi dan secara refleks aku melingkarkan kedua kakiku ke pinggulnya. Hampir sepuluh menit lamanya kami bersenggama dengan posisi ini dan tidak lama kurasakan lubang senggamaku menjadi semakin basah.
“Ouuhhh… Ndi… aku mau pipis…” getar suaraku saat menahan suatu dorongan yang luar biasa dari dalam tubuhku.
Tahu kalau aku akan mencapai klimaks, Andi semakin mempercepat goyangannya. Dan benar saja, tak lama kemudian tubuhku bergetar pelan sedangkan pahaku yang melingkar di pinggulnya menjepit erat. Terasa sesuatu yang hangat menyemprot keluar dari dalam vaginaku, membasahi batang penisnya.
Sejenak Andi menghentikan genjotannya sambil mencabut penisnya dari liang senggamaku. Nampak penis itu dibasahi oleh cairan vaginaku. Beberapa menit kemudian, setelah aku cukup istirahat, Andi menyuruhku agar membungkuk membelakanginya. Tanganku bertumpu di pinggiran gubuk sedangkan kedua kakiku menjejak ke lantai.
Rok hijauku yang panjang sempat menjuntai ke bawah, yang segera diangkat kembali oleh Andi dan diikat rapi di pinggang. Sambil mencengkeram pantatku yang semok, ia kembali mengarahkan batang penisnya yang masih tegak mengacung ke arah lubang vaginaku. Sejenak Andi menggesek-gesekkan ujungnya yang tumpul di bibir kemaluanku yang sangat basah.
“Ohhh…” desahku pelan sambil tanganku meremas-remas payudaraku sendiri.
Kini ujung penisnya benar-benar terasa basah oleh cairan kewanitaanku. Perlahan dengan bantuan tangan kananku, Andi mulai melakukan penetrasi. Dengan lancar batang coklat panjang itu masuk kembali memenuhi liang senggamaku. Andi membiarkannya sejenak sebelum perlahan mulai menggoyang maju-mundur tak lama kemudian. Ia melakukan dengan tempo lambat untuk beberapa saat lalu secara bertahap mempercepat sodokannya.
“Ahh… ahh… uhh… uhh…” desahku dengan tubuh terguncang-guncang karena sodokannya. Sambil menyetubuhiku dari belakang, kedua tangan Andi beraksi meremas dan mencengkeram bulatan pantatku.
“Plak… plak… plak…” begitu bunyi selangkangannya saat berbenturan dengan bokongku. Terkadang Andi juga meremas kedua buah dadaku dari belakang
“Oh, Surti… kamu memang nikmat.” racaunya sembari terus menggenjot pantatnya demakin cepat.
“Emhh… ohh… omm…” desahku seakan merespon racauannya.
Tubuh kami berdua kini benar-benar basah kuyup bermandikan keringat. Jilbab dan rok panjang yang melilit di pinggangku juga ikut basah karenanya. Tak terasa lebih dari 10 menit kami berdua bersetubuh dalam posisi ini.
“Ouhh… Andi, aku mau pipis lagi…” kataku dengan nafas terengah-engah.
“Tahan, Ti… aku juga mau nyampe.” ujar Andi sembari mempercepat laju sodokannya.
“Ohhhh…” erangku dengan tubuh menegang saat vaginaku mengucurkan cairan. Bersamaan dengan orgasmeku, Andi pun mencapai klimaks. Ia memeluk erat pinggangku sembari membenamkan penisnya dalam-dalam ke liang senggamaku.
”Ahh…” lenguh Andi penuh nikmat saat memuntahkan air maninya.
Liang senggamaku sekarang dipenuhi oleh campuran sperma dan cairan vaginaku sendiri. Kemudian kami berdua terkulai lemas di dalam gubuk. Andi membiarkan sejenak kemaluannya yang masih tegang terjepit di dalam vaginaku.
Hari menjelang sore, tak terasa kami terlelap puas. Saatnya aku untuk pulang. Suamiku pasti sudah menunggu di rumah.
0 comments:
Post a Comment