Main domino206 bisa dapat bonus hingga 50juta? klik di sini
Namaku Jackie dan tentunya bukan nama asliku.
Aku adalah pria yang kurang beruntung, karena
sudah dua kali ingin berniat untuk berkeluarga
dan dua-duanya gagal. Aku berasal dari Indonesia,
tapi sudah lama sekali tinggal di negerinya
“kanguru”. Dan atas saran teman-teman, maka aku mensponsori seorang cewek dari Indonesia
dengan niat untuk menikah. Tapi setelah wanita itu
mendapatkan izin tinggal tetap di negeri ini, wanita
itu meninggalkan aku. Begitu juga dengan yang
kedua, yang berasal dari Amerika Latin. Nah,
karena rumah yang kumiliki ini mempunyai dua kamar dan karena aku hanya tinggal sendiri
sekaligus sudah kapok untuk mencari pasangan
lagi, maka kamar yang satunya aku sewakan pada
seorang pelajar (cowok) dari Jepang. Namanya
Gamhashira. Gamha yang playboy ini sudah dua
hari pulang ke negerinya untuk berlibur setelah menamatkan SMA-nya. Pada suatu sore di hari libur (liburan dari kerja) aku
buang waktu dengan main internet, lebih kurang
satu setengah jam bermain internet, tiba-tiba
terdengar suara bel. Setengah kesal aku hampiri
juga pintu rumahku, dan setelah aku mengintip
dari lubang kecil di pintu, kulihat tiga orang gadis. Kemudian kubuka pintu dan bertanya (maaf
langsung aku terjemahkan saja ke bahasa
Indonesia semua percakapan kami),
“Bisa saya bantu?” kataku kepada mereka.
“Maaf, kami sangat mengganggu, kami mencari
Gamha dan sudah satu jam lebih kami coba untuk telepon tapi kedengarannya sibuk terus, maka
kami langsung saja datang.”
Yang berwajah Jepang nyerocos seperti kereta
express di negerinya.
“Oh, soalnya saya lagi main internet, maklumlah
soalnya hanya satu sambungan saja telepon saya,” jawabku.
“Memangnya kalian tidak tahu kalau si Gamha
sedang pulang kampung dua hari yang lalu?”
lanjutku lagi. Kali ini yang bule berambut sebahu dengan kesal
menjawab, “Kurang ajar si Gamha, katanya bulan
depan pulangnya, Jepang sialan tuh!”
“Eh! Kesel sih boleh, tapi jangan bilang Jepang
sialan dong. Gua tersinggung nih,” yang berwajah
Jepang protes. “Sudahlah, memang belum rejeki kita dijajanin
sama si Gamha,” sekarang bule bermata biru
nyeletus.
Dengan setengah bingung karena tidak mengerti
persoalannya, kupersilakan mereka untuk masuk.
Mulanya mereka ragu-ragu, akhirnya mereka masuk juga. “Iya deh, sekalian numpang minum,”
kata bule yang berambut panjang masih
kedengaran kesalnya. Setelah mereka duduk, kami memperkenalkan
nama kami masing-masing.
“Nama saya Jacky,” kataku.
“Khira,” kata yang berwajah Jepang (dan memang
orang Jepang).
Yang berambut panjang menyusul, “Emily,” (Campuran Italia dengan Inggris).
“Saya Eve,” gadis bermata biru ini asal Jerman.
“Jacky, kamu berasal dari mana?” lanjutnya.
“Jakarta, Indonesia,” jawabku sambil menuju ke
lemari es untuk mengambilkan minuman sesuai
permintaan mereka. Sekembalinya saya ke ruang tamu dimana mereka
duduk, ternyata si Khira dan Eve sudah berada di
ruang komputer saya, yang memang bersebelahan
dengan ruang tamu dan tidak dibatasi apa-apa.
“Aduh, panas sekali nich?!” si Emily ngedumel
sambil membuka kemeja luarnya. Memang di awal bulan Desember lalu, Australia ini
sedang panas-panasnya. Aku tertegun sejenak,
karena bersamaan dengan aku meletakkan
minuman di atas meja, Emily sudah melepaskan
kancing terakhirnya. Sehingga dengan jelas dapat
kulihat bagian atas bukit putih bersih menyembul, walaupun masih terhalangi kaos bagian
bawahnya. Tapi membuatku sedikit menelan
ludah. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara si
Eve,
“Jacky, boleh kami main internetnya?”
“Silakan,” jawabku. Aku tidak keberatan karena aku membayar untuk
yang tidak terbatas penggunaannya.
“Mau nge-chat yah?” tanyaku sambil tersenyum
pada si Emily.
“Ah, paling-paling mau lihat gambar gituan,” lanjut
Emily lagi. “Eh, kaliankan masih di bawah umur?” kataku
mencoba untuk protes.
“Paling umur kalian 17 tahun kan?” sambungku
lagi. Khira menyambut, “Tahun ini kami sudah 18 tahun.
Hanya tinggal beberapa bulan saja.” Aku tidak bisa
bilang apa-apa lagi. Baru saja aku ngobrol dengan
si Emily, si Eve datang lagi menanyakan, apa saya
tahu site-nya gambar “gituan” yang gratis. Lalu
sambil tersenyum saya hampiri komputer, kemudian saya ketikkan salah satu situs seks anak
belasan tahun gratis kesukaanku. Karena waktu
mengetik sambil berdiri dan si Khira duduk di kursi
meja komputer, maka dapat kulihat dengan jelas
ke bawah bukitnya si Khira yang lebih putih dari
punyanya si Emily. Barangku terasa berdenyut. Setengah kencang. Setelah gambar keluar, yang
terpampang adalah seorang negro sedang
mencoba memasuki barang besarnya ke lubang
kecil milik gadis belasan. Sedangkan mulut gadis
itu sudah penuh dengan barang laki-laki putih
yang tak kalah besar barangnya dengan barang si negro itu. Terasa barangku kini benar-benar
kencang karena nafsu dengan keadaan. Si Emily
menghampiri kami berada, karena si Eve dan Khira
tertawa terbahak-bahak melihat gambar itu. Aku
mencoba menghindar dari situ, tapi tanpa sengaja
sikut Khira tersentuh barangku yang hanya tertutup celana sport tipis. Baru tiga langkah aku
menghindar dari situ, kudengar suara tawa mereka
bertambah kencang, langsung aku menoleh dan
bertanya, “Ada apa?” Eve menjawab, “Khira bilang,
sikutnya terbentur barangmu,” katanya. Aku benar-benar malu dibuatnya. Tapi dengan
tersenyum aku menjawab, “Memangnya kenapa,
kan wajar kalau saya merasa terangsang dengan
gambar itu. Itu berarti aku normal.” Kulihat lagi
mereka berbisik, kemudian mereka
menghampiriku yang sedang mencoba untuk membetulkan letak barangku. Si Eve bertanya
padaku sambil tersipu,
“Jacky, boleh nggak kalau kami lihat barangmu?”
Aku tersentak dengan pertanyaan itu.
“Kalian ini gila yah, nanti aku bisa masuk penjara
karena dikira memperkosa anak di bawah umur.” (Di negeri ini di bawah 18 tahun masih dianggap
bawah umur).
“Kan tidak ada yang tahu, lagi pula kami tidak akan
menceritakan pada siapa-siapa, sungguh kami
janji,” si Emily mewakili mereka.
“Please Jacky!” sambungnya. “Oke, tapi jangan diketawain yah!” ancamku sambil
tersenyum nafsu. Dengan cepat kuturunkan celana sport-ku dan
dengan galak barangku mencuat dari bawah ke
atas dengan sangat menantang. Lalu segera
terdengar suara terpekik pendek hampir
berbarengan.
“Gila gede banget!” kata mereka hampir berbarengan lagi.
“Nah! Sekarang apa lagi?” tanyaku.
Tanpa menjawab Khira dan Emily menghampiriku,
sedangkan Eve masih berdiri tertegun memandang
barangku sambil tangan kanannya menutup
mulutnya sedangkan tangan kirinya mendekap selangkangannya. “Boleh kupegang Jack?” tanya
Khira sambil jari telunjuknya menyentuh kepala
barangku tanpa menunggu jawabanku. Aku
hanya bisa menjawab, “Uuuh…” karena geli dan
nikmat oleh sentuhannya. Sedang Eve masih saja
mematung, hanya jari-jari tangan kirinya saja yang mulai meraih-raih sesuatu di selangkangannya.
Lain dengan Emily yang sedang mencoba
menggenggam barangku, dan aku merasa sedikit
sakit karena Emily memaksakan jari tengahnya
untuk bertemu dengan ibu jarinya. Tiba-tiba Emily,
hentikan kegiatannya dan bertanya padaku, “Kamu punya film biru Jack?” Sambil terbata-bata
kusuruh Eve untuk membuka laci di bawah TV-ku
dan minta Eve lagi untuk masukan saja langsung
ke video. Waktu mulai diputar gambarnya bukan lagi dari
awal, tapi sudah di pertengahan. Yang tampak
adalah seorang laki-laki 60 tahun sedang dihisap
barangnya oleh gadis belasan tahun. Kontan saja si
Eve menghisap jarinya yang tadinya dipakai untuk
menutup mulut sedangkan jari tangan kirinya masih kembali ke tugasnya. Pandanganku sayup,
dan terasa benda lembut menyapu kepala
barangku dan benda lembut lainnya menyapu
bijiku. Aku mencoba untuk melihat ke bawah,
ternyata lidah Khira di bagian kepala dan lidah
Emily di bagian bijiku. “Uuh… ssshh… uuuhh… ssshhh…” aku merasa
nikmat.
Kupanggil Eve ke sampingku dan kubuka dengan
tergesa-gesa kaos dan BH-nya. Tanpa sabar
kuhisap putingnya dan segera terdengar nafas Eve
memburu. “Jacky… ooohh… Jacky… terusss… ooohhh…”
nikmat Eve terdengar.
Kemudian terasa setengah barangku memasuki
lubang hangat, ternyata mulut Khira sudah
melakukan tugasnya walaupun tidak masuk
semua tapi dipaksakan olehnya. “Slep… slep… chk… chk…”
Itulah yang terdengar paduan suara antara
barangku dan mulut Khira. Emily masih saja
menjilat-jilat bijiku. Dengan kasar Eve menarik kepalaku untuk
kembali ke putingnya. Kurasakan nikmat tak
ketulungan. Kuraih bahu Emily untuk bangun dan
menyuruhnya untuk berbaring di tempat duduk
panjang. Setelah kubuka semua penghalang
kemaluannya langsung kubuka lebar kakinya dan wajahku tertanam di selangkangannya.
“Aaahhh… Jacky… aaahhh… enak Jacky…
teruskan… aaahhh… terussss Jacky!” jerit Emily.
Ternyata Eve sudah bugil, tangannya dengan
gemetar menarik tanganku ke arah barangnya.
Aku tahu maksudnya, maka langsung saja kumainkan jari tengahku untuk mengorek-ngorek
biji kecil di atas lubang nikmatnya. Terasa basah
barang Eve, terasa menggigil barang Eve.
“Aaaahhh…” Eve sampai puncaknya. Aku pun mulai merasa menggigil dan barangku
terasa semakin kencang di mulut Khira, sedangkan
mulutku belepotan di depan barang Emily, karena
Emily tanpa berteriak sudah menumpahkan cairan
nikmatnya. Aku tak tahan lagi, aku tak tahan lagi,
“Aahhh…” Sambil meninggalkan barang Emily, kutarik kepala Khira dan menekannya ke arah
barangku. Terdengar, “Heeerrkk…” Rupanya Khira
ketelak oleh barangku dan mencoba untuk
melepaskan barangku dari mulutnya, tapi
terlambat cairan kentalku tersemprot ke
tenggorokannya. Kepalanya menggeleng-geleng dan tangannya mencubit tanganku yang sedang
menekan kepalanya ke arah barangku. Akhirnya
gelengannya melemah Khira malah memaju
mundurkan kepalanya terhadap barangku. Aku
merasa nikmat dan ngilu sekali, “Sudah… sudah…
aku ngiluuu… sudah…” pintaku. Tapi Khira masih saja melakukannya. Kakiku gemetar, gemetar
sekali. Akhirnya kuangkat kepala Khira, kutatap
wajahnya yang berlumuran dengan cairanku.
Khira menatapku sendu, sendu sekali dan
kudengar suara lembut dari bibirnya, “I Love you,
Jacky!” aku tak menjawab. Apa yang harus kujawab! Hanya kukecup lembut keningnya dan
berkata, “Thank you Khira!” Rasa nikmatku hilang seketika, aku tak bernafsu
lagi walaupun kulihat Eve sedang memainkan
klitorisnya dengan jarinya dan Emily yang
ternganga memandang ke arahku dan Khira.
Mungkin Emily mendengar apa yang telah
diucapkan oleh Khira. Demikianlah, kejadian demi kejadian terus berlangsung antara kami. Kadang
hanya aku dengan salah satu dari mereka, kadang
mereka berdua saja denganku. Aku masih
memikirkan apa yang telah diucapkan oleh Khira.
Umurku lebih 10 tahun darinya. Dan sekarang
Khira lebih sering meneleponku di rumah maupun di tempat kerjaku. Hanya untuk mendengar
jawabanku atas cintanya. Dan belakangan aku
dengar Eve dan Emily sudah jarang bergaul dengan
Khira.
Aku adalah pria yang kurang beruntung, karena
sudah dua kali ingin berniat untuk berkeluarga
dan dua-duanya gagal. Aku berasal dari Indonesia,
tapi sudah lama sekali tinggal di negerinya
“kanguru”. Dan atas saran teman-teman, maka aku mensponsori seorang cewek dari Indonesia
dengan niat untuk menikah. Tapi setelah wanita itu
mendapatkan izin tinggal tetap di negeri ini, wanita
itu meninggalkan aku. Begitu juga dengan yang
kedua, yang berasal dari Amerika Latin. Nah,
karena rumah yang kumiliki ini mempunyai dua kamar dan karena aku hanya tinggal sendiri
sekaligus sudah kapok untuk mencari pasangan
lagi, maka kamar yang satunya aku sewakan pada
seorang pelajar (cowok) dari Jepang. Namanya
Gamhashira. Gamha yang playboy ini sudah dua
hari pulang ke negerinya untuk berlibur setelah menamatkan SMA-nya. Pada suatu sore di hari libur (liburan dari kerja) aku
buang waktu dengan main internet, lebih kurang
satu setengah jam bermain internet, tiba-tiba
terdengar suara bel. Setengah kesal aku hampiri
juga pintu rumahku, dan setelah aku mengintip
dari lubang kecil di pintu, kulihat tiga orang gadis. Kemudian kubuka pintu dan bertanya (maaf
langsung aku terjemahkan saja ke bahasa
Indonesia semua percakapan kami),
“Bisa saya bantu?” kataku kepada mereka.
“Maaf, kami sangat mengganggu, kami mencari
Gamha dan sudah satu jam lebih kami coba untuk telepon tapi kedengarannya sibuk terus, maka
kami langsung saja datang.”
Yang berwajah Jepang nyerocos seperti kereta
express di negerinya.
“Oh, soalnya saya lagi main internet, maklumlah
soalnya hanya satu sambungan saja telepon saya,” jawabku.
“Memangnya kalian tidak tahu kalau si Gamha
sedang pulang kampung dua hari yang lalu?”
lanjutku lagi. Kali ini yang bule berambut sebahu dengan kesal
menjawab, “Kurang ajar si Gamha, katanya bulan
depan pulangnya, Jepang sialan tuh!”
“Eh! Kesel sih boleh, tapi jangan bilang Jepang
sialan dong. Gua tersinggung nih,” yang berwajah
Jepang protes. “Sudahlah, memang belum rejeki kita dijajanin
sama si Gamha,” sekarang bule bermata biru
nyeletus.
Dengan setengah bingung karena tidak mengerti
persoalannya, kupersilakan mereka untuk masuk.
Mulanya mereka ragu-ragu, akhirnya mereka masuk juga. “Iya deh, sekalian numpang minum,”
kata bule yang berambut panjang masih
kedengaran kesalnya. Setelah mereka duduk, kami memperkenalkan
nama kami masing-masing.
“Nama saya Jacky,” kataku.
“Khira,” kata yang berwajah Jepang (dan memang
orang Jepang).
Yang berambut panjang menyusul, “Emily,” (Campuran Italia dengan Inggris).
“Saya Eve,” gadis bermata biru ini asal Jerman.
“Jacky, kamu berasal dari mana?” lanjutnya.
“Jakarta, Indonesia,” jawabku sambil menuju ke
lemari es untuk mengambilkan minuman sesuai
permintaan mereka. Sekembalinya saya ke ruang tamu dimana mereka
duduk, ternyata si Khira dan Eve sudah berada di
ruang komputer saya, yang memang bersebelahan
dengan ruang tamu dan tidak dibatasi apa-apa.
“Aduh, panas sekali nich?!” si Emily ngedumel
sambil membuka kemeja luarnya. Memang di awal bulan Desember lalu, Australia ini
sedang panas-panasnya. Aku tertegun sejenak,
karena bersamaan dengan aku meletakkan
minuman di atas meja, Emily sudah melepaskan
kancing terakhirnya. Sehingga dengan jelas dapat
kulihat bagian atas bukit putih bersih menyembul, walaupun masih terhalangi kaos bagian
bawahnya. Tapi membuatku sedikit menelan
ludah. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara si
Eve,
“Jacky, boleh kami main internetnya?”
“Silakan,” jawabku. Aku tidak keberatan karena aku membayar untuk
yang tidak terbatas penggunaannya.
“Mau nge-chat yah?” tanyaku sambil tersenyum
pada si Emily.
“Ah, paling-paling mau lihat gambar gituan,” lanjut
Emily lagi. “Eh, kaliankan masih di bawah umur?” kataku
mencoba untuk protes.
“Paling umur kalian 17 tahun kan?” sambungku
lagi. Khira menyambut, “Tahun ini kami sudah 18 tahun.
Hanya tinggal beberapa bulan saja.” Aku tidak bisa
bilang apa-apa lagi. Baru saja aku ngobrol dengan
si Emily, si Eve datang lagi menanyakan, apa saya
tahu site-nya gambar “gituan” yang gratis. Lalu
sambil tersenyum saya hampiri komputer, kemudian saya ketikkan salah satu situs seks anak
belasan tahun gratis kesukaanku. Karena waktu
mengetik sambil berdiri dan si Khira duduk di kursi
meja komputer, maka dapat kulihat dengan jelas
ke bawah bukitnya si Khira yang lebih putih dari
punyanya si Emily. Barangku terasa berdenyut. Setengah kencang. Setelah gambar keluar, yang
terpampang adalah seorang negro sedang
mencoba memasuki barang besarnya ke lubang
kecil milik gadis belasan. Sedangkan mulut gadis
itu sudah penuh dengan barang laki-laki putih
yang tak kalah besar barangnya dengan barang si negro itu. Terasa barangku kini benar-benar
kencang karena nafsu dengan keadaan. Si Emily
menghampiri kami berada, karena si Eve dan Khira
tertawa terbahak-bahak melihat gambar itu. Aku
mencoba menghindar dari situ, tapi tanpa sengaja
sikut Khira tersentuh barangku yang hanya tertutup celana sport tipis. Baru tiga langkah aku
menghindar dari situ, kudengar suara tawa mereka
bertambah kencang, langsung aku menoleh dan
bertanya, “Ada apa?” Eve menjawab, “Khira bilang,
sikutnya terbentur barangmu,” katanya. Aku benar-benar malu dibuatnya. Tapi dengan
tersenyum aku menjawab, “Memangnya kenapa,
kan wajar kalau saya merasa terangsang dengan
gambar itu. Itu berarti aku normal.” Kulihat lagi
mereka berbisik, kemudian mereka
menghampiriku yang sedang mencoba untuk membetulkan letak barangku. Si Eve bertanya
padaku sambil tersipu,
“Jacky, boleh nggak kalau kami lihat barangmu?”
Aku tersentak dengan pertanyaan itu.
“Kalian ini gila yah, nanti aku bisa masuk penjara
karena dikira memperkosa anak di bawah umur.” (Di negeri ini di bawah 18 tahun masih dianggap
bawah umur).
“Kan tidak ada yang tahu, lagi pula kami tidak akan
menceritakan pada siapa-siapa, sungguh kami
janji,” si Emily mewakili mereka.
“Please Jacky!” sambungnya. “Oke, tapi jangan diketawain yah!” ancamku sambil
tersenyum nafsu. Dengan cepat kuturunkan celana sport-ku dan
dengan galak barangku mencuat dari bawah ke
atas dengan sangat menantang. Lalu segera
terdengar suara terpekik pendek hampir
berbarengan.
“Gila gede banget!” kata mereka hampir berbarengan lagi.
“Nah! Sekarang apa lagi?” tanyaku.
Tanpa menjawab Khira dan Emily menghampiriku,
sedangkan Eve masih berdiri tertegun memandang
barangku sambil tangan kanannya menutup
mulutnya sedangkan tangan kirinya mendekap selangkangannya. “Boleh kupegang Jack?” tanya
Khira sambil jari telunjuknya menyentuh kepala
barangku tanpa menunggu jawabanku. Aku
hanya bisa menjawab, “Uuuh…” karena geli dan
nikmat oleh sentuhannya. Sedang Eve masih saja
mematung, hanya jari-jari tangan kirinya saja yang mulai meraih-raih sesuatu di selangkangannya.
Lain dengan Emily yang sedang mencoba
menggenggam barangku, dan aku merasa sedikit
sakit karena Emily memaksakan jari tengahnya
untuk bertemu dengan ibu jarinya. Tiba-tiba Emily,
hentikan kegiatannya dan bertanya padaku, “Kamu punya film biru Jack?” Sambil terbata-bata
kusuruh Eve untuk membuka laci di bawah TV-ku
dan minta Eve lagi untuk masukan saja langsung
ke video. Waktu mulai diputar gambarnya bukan lagi dari
awal, tapi sudah di pertengahan. Yang tampak
adalah seorang laki-laki 60 tahun sedang dihisap
barangnya oleh gadis belasan tahun. Kontan saja si
Eve menghisap jarinya yang tadinya dipakai untuk
menutup mulut sedangkan jari tangan kirinya masih kembali ke tugasnya. Pandanganku sayup,
dan terasa benda lembut menyapu kepala
barangku dan benda lembut lainnya menyapu
bijiku. Aku mencoba untuk melihat ke bawah,
ternyata lidah Khira di bagian kepala dan lidah
Emily di bagian bijiku. “Uuh… ssshh… uuuhh… ssshhh…” aku merasa
nikmat.
Kupanggil Eve ke sampingku dan kubuka dengan
tergesa-gesa kaos dan BH-nya. Tanpa sabar
kuhisap putingnya dan segera terdengar nafas Eve
memburu. “Jacky… ooohh… Jacky… terusss… ooohhh…”
nikmat Eve terdengar.
Kemudian terasa setengah barangku memasuki
lubang hangat, ternyata mulut Khira sudah
melakukan tugasnya walaupun tidak masuk
semua tapi dipaksakan olehnya. “Slep… slep… chk… chk…”
Itulah yang terdengar paduan suara antara
barangku dan mulut Khira. Emily masih saja
menjilat-jilat bijiku. Dengan kasar Eve menarik kepalaku untuk
kembali ke putingnya. Kurasakan nikmat tak
ketulungan. Kuraih bahu Emily untuk bangun dan
menyuruhnya untuk berbaring di tempat duduk
panjang. Setelah kubuka semua penghalang
kemaluannya langsung kubuka lebar kakinya dan wajahku tertanam di selangkangannya.
“Aaahhh… Jacky… aaahhh… enak Jacky…
teruskan… aaahhh… terussss Jacky!” jerit Emily.
Ternyata Eve sudah bugil, tangannya dengan
gemetar menarik tanganku ke arah barangnya.
Aku tahu maksudnya, maka langsung saja kumainkan jari tengahku untuk mengorek-ngorek
biji kecil di atas lubang nikmatnya. Terasa basah
barang Eve, terasa menggigil barang Eve.
“Aaaahhh…” Eve sampai puncaknya. Aku pun mulai merasa menggigil dan barangku
terasa semakin kencang di mulut Khira, sedangkan
mulutku belepotan di depan barang Emily, karena
Emily tanpa berteriak sudah menumpahkan cairan
nikmatnya. Aku tak tahan lagi, aku tak tahan lagi,
“Aahhh…” Sambil meninggalkan barang Emily, kutarik kepala Khira dan menekannya ke arah
barangku. Terdengar, “Heeerrkk…” Rupanya Khira
ketelak oleh barangku dan mencoba untuk
melepaskan barangku dari mulutnya, tapi
terlambat cairan kentalku tersemprot ke
tenggorokannya. Kepalanya menggeleng-geleng dan tangannya mencubit tanganku yang sedang
menekan kepalanya ke arah barangku. Akhirnya
gelengannya melemah Khira malah memaju
mundurkan kepalanya terhadap barangku. Aku
merasa nikmat dan ngilu sekali, “Sudah… sudah…
aku ngiluuu… sudah…” pintaku. Tapi Khira masih saja melakukannya. Kakiku gemetar, gemetar
sekali. Akhirnya kuangkat kepala Khira, kutatap
wajahnya yang berlumuran dengan cairanku.
Khira menatapku sendu, sendu sekali dan
kudengar suara lembut dari bibirnya, “I Love you,
Jacky!” aku tak menjawab. Apa yang harus kujawab! Hanya kukecup lembut keningnya dan
berkata, “Thank you Khira!” Rasa nikmatku hilang seketika, aku tak bernafsu
lagi walaupun kulihat Eve sedang memainkan
klitorisnya dengan jarinya dan Emily yang
ternganga memandang ke arahku dan Khira.
Mungkin Emily mendengar apa yang telah
diucapkan oleh Khira. Demikianlah, kejadian demi kejadian terus berlangsung antara kami. Kadang
hanya aku dengan salah satu dari mereka, kadang
mereka berdua saja denganku. Aku masih
memikirkan apa yang telah diucapkan oleh Khira.
Umurku lebih 10 tahun darinya. Dan sekarang
Khira lebih sering meneleponku di rumah maupun di tempat kerjaku. Hanya untuk mendengar
jawabanku atas cintanya. Dan belakangan aku
dengar Eve dan Emily sudah jarang bergaul dengan
Khira.
TAMAT
0 comments:
Post a Comment